Thursday

Midnight Thoughts.

Certain songs. Aku nggak terbiasa buat mendengarkan lagu hanya berdasar pada kondisi hati saat itu aja. Mendengarkan lagu romantis saat sedang jatuh cinta. Mendengarkan lirik mengiris saat ada nyeri di dada. Mendengarkan hanya karena gelombang yang merambat nyaman di telinga.

Menurutku, lagu yang baik mampu bercerita. Membawa orang-orang ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi, pada kisah-kisah yang menjadi milik lagu itu sendiri. Menurutku, lagu yang bisa impersonate people's feelings sound great. Tapi hanya lagu jenius yang bisa membuat orang yang mendengar merasakan apa yang diceritakan lagu tersebut, bahkan saat orang itu sedang tidak mengalami perasaan yang sama.

Aku punya sindrom suka memikirkan jutaan potong gambar saat mendengarkan lagu, terutama saat sedang berada di atas kendaraan--entah yang belum atau sudah terjadi, mungkin lebih sering belum terjadi. Mungkin bukan aku aja. Kadang, dan hanya pada saat-saat yang istimewa, aku bertemu orang-orang yang merasa dan mengalami hal serupa. Dan betapa nyamannya saat-saat itu, bersama dengan orang yang berbicara dengan bahasa yang sama. Nada-nada, irama, ketukan yang serupa. Seakan kata-kata hanyalah satu di antara ribuan sarana. Seakan-akan, hanya dengan mendengar lagu yang sama dan memejamkan mata, kemudian membayangkan hal yang sama, membuat waktu seakan berhenti selamanya.

Ini beberapa judul lagu yang beberapa minggu terakhir aku dengerin.

Kodaline - Way Back When
Kindness - Swingin Party
Chick and soup - Favorite Afternoon
Of Monster and men – Lakehouse
My Chemical Romance - Summertime
Lifehouse - Nobody Listen

Nggak semuanya baru, nggak semuanya baru aku tahu. Summertime misalnya, adalah lagu yang pernah jadi bagian dari seseorang dari masa lalu. Lagu-lagu lama, lagu-lagu baru, aku nggak peduli. Aku sudah berada pada titik di mana mengikuti apa yang sedang dunia gandrungi bukanlah hal penting lagi. Hari-hari ini, aku mulai merasakan masa remajaku sedikit demi sedikit menghilang. Masa remaja itu seakan berhenti. Tapi aku tetap berjalan. Seperti larva yang keluar dari kepompong, tersendat, karena ternyata diganjal sayap. Kepompong itu berhenti, tetap ada, tapi aku udah nggak bersemayam di dalamnya. Aku merasa mulai memiliki alur waktu sendiri, yang berbeda dari sebelumnya, mungkin juga berbeda dari orang-orang lain yang lewat di sekelilingku. Aku sudah tidak terlalu bisa merasa apa yang mereka rasa, tidak tertarik dengan apa yang menarik mereka, dan tidak merasa perlu mengikuti lagi. Aku merasa punya dimensi sendiri. Bukan lagi di dalam kepompong. Tapi di udara bebas. Yang justru pada kenyataan, berparadoks lebih memiliki batas dibanding dunia dalam kepompong. Yang lagi-lagi, juga bisa kutemui pada orang-orang yang mulai menjalani hidup sebagai pribadi yang.. dewasa. Atau mungkin aku hanya lelah jadi remaja. Dan ingin menjadi dewasa.

Menyenangkan, melihat bagaimana dunia bekerja. Ikut mengetahui apa yang semua orang lain tengah lakukan dan alami. Berkendara di jalan yang berkelok-kelok, tertawa, lagu-lagu menemani mereka.. Senang rasanya masih ada orang-orang yang tidak lupa untuk berbahagia dan merasakan waktu yang seakan selalu memburu.


Terlalu banyak hal yang kualami di usiaku.

Aku suka berpergian. Sejak orang tuaku belum bercerai sampai sekarang, rasanya berpergian sudah menjadi bagian dari hidup itu sendiri. Di dalam kandungan aku sudah merasakan berpergian di atas awan. Di umur 3 aku sudah menjelajahi Institut Seni Indonesia dan berkenalan dengan beberapa orang yang sekarang megah berkarya. Tanpa papa mama. Di umur 4 aku sudah membuktikan borobudur memang pantas dinamai keajaiban dunia, musim hujan kota bandung, hotel berbintang di ibu kota, indahnya pantai-pantai bali, menyakini jatim park merupakan miniatur indonesia, dan betapa menenangkan melihat sinar matahari pagi menembus pepohonan dari balik jendela. Duduk di bangku SD, salah satu kerabat mengenalkanku pada seorang profesor di Surabaya. Mama bilang aku harus pindah sekolah ke Surabaya yang bisa melayani kelas akselerasi, karena dari beberapa tes dinyatakan bahwa aku memiliki IQ di atas rata-rata anak seusaku dengan kemampuan membaca, menulis dan memahami cerita.

Aku dibawa ke seminar-seminar. Tapi hal itu menghancurkanku. Aku tidak suka diperlakukan seperti itu. Aku tidak tahu apa-apa. Konsep kompetisi, konsep jenjang pendidikan, pengekangan, kewajiban. Saat itu kelas akselerasi tidak sefleksibel sekarang. Mungkin belum matang, apalagi untuk jenjang sekolah dasar. Aku tertekan. Bullying masih merajalela. Belum genap 2 tahun, aku pun (memaksa) kembali ke kota asalku dan mengulang sekolah dasar.

Aku mulai kembali menjadi diriku.

Sejak kecil, aku tidak akan melakukan hal-hal yang tidak aku suka. Terutama jika dipaksa. Meski aku bisa, aku tidak mau. Meski aku mampu, aku tidak mengusahakan.

Memasuki SMP, aku beruntung bertemu dengan dua guru yang sangat mendukungku. Mereka selalu mendorongku dan sangat memercayakan padaku hal-hal yang bahkan tidak aku yakini. 6 piala tidak akan kubawa pulang tanpa paksaan, tanpa dorongan (dalam arti sebenarnya). Tanpa mereka aku tidak akan repot-repot mendapatkannya. Sungguh. Sudah kubuktikan di bangku SMA. Hanya satu piala, itu pun karena untuk mengikutinya aku diminta. Tidak terlalu ada usaha, iseng, dan hanya membawa pulang juara tiga. Setelah itu pun aku tidak berminat mengikuti lagi.

Aku masih tidak melakukan hal-hal yang tidak membuatku tertarik. Tapi saat hal itu datang, butuh modal dan peralatan untuk membuatnya, menjadikan dan mengembangkannya. Film pendek misalnya. Aku bisa, dengan alat seadanya pun bisa. Namun aku biasanya memikirkan hal yang membutuhkan benda-benda yang lebih dari apa yang ada. Karena, to be realistic, triger videography, industri kreatif dan sejanisnya, selain butuh kreativitas dan lingkungan sosial yang mendukung, juga utuh alat-alat sophisticated terntetu, yang butuh duit hahahaha atau beberapa potong keberuntungan. Ga deng hahah i'm on my way for it. Doakan ya. Sedang menggodok dan menyusun 'peta' baru, jalan yang akan sedikit memutar untuk bisa kembali ke jalur passion awalku. Nggak mudah dengan kondisi yang serumit sekarang, but i know it is a process.


Sebenernya sampai sekarang aku bertanya-tanya, mengapa aku tidak mempunyai ambisi. Terutama ambisi untuk menang. Meski aku bisa. Meski aku mampu. Atau mungkin aku adalah seorang pemalas. Kemudian aku bertanya-tanya. Apakah 'ambisi' dan 'menang' ini memang refers to the race di dalam 'stadion'ku yang itu aja? Berarti aku sedang masuk ke stadion yang salah? Engga. Sepertinya, seluruh dunia ini bisa dianggap semesta. Dan setiap individu berhak untuk memilih menjadi anggota himpunan yang mana. Kita sedang tidak berkompetisi jika bahkan permainan yang kita ikuti berbeda. Mungkin memang ada permainan induk yang terbesar (dan terkompleks yang pernah ada) bernama semesta, di mana terdapat, dalam konteks ini, human race itu sendiri. Tapi di dalamnya masih ada jutaan himpunan. Dan menilik kasusku sebelumnya, kelumpuhan karakterku, karena aku mungkin memforce diriku sendiri untuk tetap berada dalam suatu himpunan yang tidak seharusnya. Karena saat aku ditugaskan atau mengerjakan bidang yang sangat aku suka, aku justru kelewat perfeksionis dan seliar kuda. Dan to be somse, memang banyak yang suka. Sayangnya, hal-hal ini dianggap tidak penting oleh orang-orang di sekitarku yang sebelumnya. Hal-hal yang mungkin bahasa gaulnya sidestream. Underground. Gak prestisius dan gak bisa bawa ke luar negri. Bukan konferensi, bukan prestasi ilmiah, bukan kecerdasan matematis, bukan kecerdasan tampil di muka umum. Suck.

Sampai Pak Dibyo menemukan tulisanku. Dan beliau tertarik akan 'keanehanku' ini. Suatu saat ia mengumpulkan tulisan-tulisan kami. Dari setiap kelas, biasanya dipilih 3-4 karya. Dari kelasku ada Puput, Nana, Reyhan dan aku. Pada beberapa kesempatan setelahnya beliau (yang genar mendiskusikan banyak hal) kembali menyinggung hal-hal itu. Pada suatu pembicaraan beliau mengungkit soal pendidikan dan sistemnya, outputnya dan implementasinya. Beliau kemudian mengutarakan bahwa aku menarik. Beliau mendengar dari guru lain tentang kemampuan akademisku. Aku sangat menonjol pada suatu hal, tapi sangat kurang di suatu hal lain. Kata beliau di depan kelas, seharusnya orang sepertiku sayang kalau bersekolah di sistem seperti ini. Harusnya aku bisa berkembang dan jadi diriku sendiri pada sekolah khusus. Terutama yang menganut sistem liberal arts. Semoga bukan samaran halus dari sekolah luar biasa ya.

Beberapa hari terakhir aku meminjam buku-buku yang berbeda dari biasanya. Kisah-kisah yang, meski dua, tiga tahun terasa lebih muda, membuatku segar. Seperti memugar kembali perasaanku. Seperti mengingatkan aku tentang arti hal yang dimiliki manusia: rasa.

Mungkin produksi hormon oksitosin, dopamine atau norepinephrineku jadi meningkat. Meski ceritanya bukan ceritaku, kadang tanpa cerita-cerita yang demikian dunia terasa seakan terlalu serius dan terburu-buru. Penuh. Penat. Yang nyata terasa fana. Hidup seperti hanya mengejar masa depan, dan melupakan, mengabaikan hari ini. Bahagia terasa sangat jauh, jauh di depan. Aku hanya ingin.. merasa bahagia sejak sekarang, setiap hari, hingga nanti. Nanti yang sudah ditentukan.

Suatu hari aku terbagun di kamar di rumah.

Pagi itu aku memutuskan untuk berjalan-jalan dengan diriku sendiri. Melewatkan waktu bersama, mengobrol dan bercerita bersama. Betapa cepatnya lima tahun berlalu. Betapa banyaknya orang-orang yang dulu ada pergi. Betapa banyak wajah-wajah baru yang singgah. Betapa banyak hal-hal yang seharusnya terjadi. Berapa banyak kesempatan yang terlewat. Berapa banyak mimpi yang tetap menjadi angan. Seberapa jauh jalan yang sudah ditempuh. Seberapa cepat. Seberapa jauh lagi. Seberapa dekat. Sampai-sampai aku takut. Meski tidak lebih takut dari fenomena bernama overpopulasi dan hukum eksponensialnya.

Pagi itu kulalui bersama diriku, pikiranku, perasaanku, jiwaku, ragaku, harapan dan angan-anganku.

Perjalanan, menurutku, bisa ke mana saja.

Tapi perjalanan ke dalam diri sendirilah yang paling mengesankan. Perjalanan ini, mengorbankan banyak hal. Sekaligus melegakan. Ego, keangkuhan, rasa bersalah, penyesalan, penyangkalan, dan penerimaan. Segala dimensi dan hukum dunia seakan menciut, menyusut. Manusia lahir setiap hari, dan mati setiap menitnya. Manusia-manusia lain sibuk menafsirkan pesan-pesan pencipta. Menebak, mencari,  menemukan, mengembangkan. Agar membuat diri mereka berguna, berarti, bernilai. Tapi apakah ini alasan mengapa dunia ada? Menciptakan peradaban? Yang pada akhirnya akan........musnah? Banyak orang yang sukses menciptakan materi, lalu bagaimana kabar mereka setelah mati? Apa yang mereka lakukan? Akan kemana kah kita jika seluruh hal sudah ditemukan? Penghargaan, nobel, keliling dunia, ke luar angkasa... ke luar galaksi, menembus kecepatan cahaya.... sampai manakah manusia mampu membatasi dirinya? Atau, terbatasi oleh yang Ilahi? Ataukah batas yang kita ciptakan di dunia menentukan seberapa jauh kita akan pergi setelah meninggalkan keterbatasan itu sendiri? Setelah mati? Ataukah tepat di ujung hari kita menjalani kehidupan, yakni sesaat sebelum kita meninggalkan keterbatasan, akan ada sebuah tanda, piala, tentang seluruh hal yang kita lakukan di dunia?

Siapakah yang pertama kali menciptakan konsep cita-cita? Angan-angan? Karena hal itulah yang membuat jiwa tetap mengisi raga untuk menjalani kehidupan. Sebuah konsep yang naif, tapi adiktif. Sebuah konsep yang materialistis tapi dinamis. Sebuah konsep yang... teramat sangat.. besar.