Wednesday

People will kill you over time, and how they’ll kill you is with tiny, harmless phrases, like “be realistic”.

Ladies and gentlemen, we are floating in space


Cinta-isme material.

Ngeri ya, sekarang orang-orang mendadak bisa (dan suka) jadi artis. Sebuah pergeseran dari nomina serapan: astist
yang biasanya secara harafiah dimaknai sebagai seniman.

Love yang biasa dimaknai secara harfiah sebagi cinta (nomina) dan merupakan predikat aktif untuk tindak merasakan afeksi pada objek tertentu (verba), sekarang pun sudah ter-materi-alisasi-kan.

Pergeseran makna harfiah Cinta (nomina) kini merujuk pada ukuran virtual masyarakat internet dalam memberi nilai dan perhatian. Entah nilai baik, bagus, suka, lucu, setuju, dkk.

Materi-alisasi Cinta bisa-bisa melebihi materi-alisasi nilai ekonomi: Uang.
Memiliki banyak uang berarti mampu menyediakan kapital yang banyak. Kapital yang banyak mendatangkan keuntungan, tahta, kekuasaan dan kepuasan yang banyak pula.
Kapitalisme.

Mendapat Cinta yang banyak berarti mampu menyediakan hal yang diperhatikan orang banyak. Diperhatikan orang banyak mendatangan keuntungan, tahta, kekuasaan dan kepuasan yang banyak pula.
Cinta-isme material.

Toh Cinta sekarang sudah ada bentuk materinya. Sudah termaterialisasikan.

            Sometimes, I sit alone under the stars and think of the galaxies inside my heart, and truly
            wonder if anyone will ever want to make sense of all that I am.   (Christopher Poindexter)
The most interesting thing about cultures may not be in the observable things they do—the rituals, eating preferences, codes of behavior, and the like—but in the way they mold our most fundamental conscious and unconscious thinking and perception.
Ethan Watters at Pacific Standard: We Aren’t the World

Oh Society.

Sedih ya ketika kamu mencoba merefleksikan dirimu, kemudian seakan kamu adalah milik dunia dan mereka bebas berkata dan berkomentar apa saja atasmu, membuat perefleksiandirimu menjadi suatu hal yang sengaja ada untuk dinilai dan dinyatakan benar, salah, baik, buruknya.

Itulah hukum yang berlaku di masyarakat, apalagi di masyarakat internet.

Tapi bukankah seharusnya penilaian dan komentar hanya merupakan efek samping dan subreaksi dari tindakan kita?

Mungkin beberapa orang memang terlalu peduli, mungkin beberapa orang terlalu menumpukan suatu sudut pandang terhadap persona tertentu, terlalu berharap lebih, dan yang lebih ironis, merasa kecewa dan tak jarang merasa terlibat dalam upaya perbaikan hal yang mereka anggap penyimpangan itu, saat, penyimpangan itu sendiri hanyalah asumsi yang ditimbulkan sudut pikir mereka.

Kemarin pagi pak Samiaji membahas tentang system recycle pada kelas ais (accounting information system). Berkenaan dengan pencatatan dan pembukuan, akuntansi memang tidak mengenal nilai negatif. Logika merujuk pada perhitungan persediaan ataupun hutang maupun modal dsb. Benar. Lalu seperti biasa beliau secara tak sadar menambahkan hal-hal berbau trivial.

Negatif, katanya sambil lalu, hanyalah imajinasi manusia; konsep rekaan yang dibuat oleh otak kita untuk menunjukkan ketidakhadiran sesuatu atau suatu nilai yang diasumsikan menekankan suatu perbedaan atau hal berkebalikan tertentu.

Suhu negatif misalnya. Itu karena hawa sangat dingin.Bahwa nilai 0 sudah dingin, dan hawa sangat dingin melebihi 0. Kemudian konsep sangat dingin yang 'keluar' dari bilangan asli inilah yang membuat kita mengimajinasikan keberadaan nilai negatif. Nilai yang berkebalikan dan berada di luar nilai yang ada.

Sama seperti dingin. Sebuah konsep yang di-kata-kan untuk mengasumsikan ketidakhadiran panas.
Sama seperti gelap. Sebuah konsep yang di-kata-kan untuk menamai ketidakadaan cahaya dan terang.

Timbul sebuah pertanyaan. Apakah kewajibanmu untuk membuatnya tidak kecewa dan menganggapmu salah dan apakah haknya untuk kecewa jika ia melihat sesuatu yang salah padamu?

Harry Potter mengajarkan cinta kasih.
Narnia mengajarkan keajaiban.
Twilight mengajarkan perjuangan.
Hunger Games mengajarkan keadilan.
Divergent mengajarkan keberagaman.
Lord of the Rings mengajarkan pengendalian diri.
Lima Sekawan mengajarkan kejujuran.
Paper Towns mengajarkan suatu pesan, “What a treacherous thing to believe that a person is more than a person.

Everybody loves the things you do/ from the way you talk/ to the way you move
Everybody here is watching you/ cause you feel like home/ you're like a dream come true

But if by chance you're here alone/ can I have a moment? before I go?
Cause I've been by myself all night long/ hoping you're someone I used to know

You look like a movie/ you sound like a song
My God/ this reminds me, of when we were young

Let me photograph you in this light/ in case it is the last time
That we might be exactly like we were/ before we realized
We were sad of getting old/ it made us restless
It was just like a movie/ it was just like a song

I was so scared to face my fears/ cause nobody told me that you'd be here
And I swore you moved overseas/ that's what you said, when you left me

You still look like a movie/ you still sound like a song
My God, this reminds me/ of when we were young

It's hard to win me back/ everything just takes me back
To when you were there/ to when you were there
And a part of me keeps holding on/ just in case it hasn't gone
I guess I still care/ do you still care?

It was just like a movie/ it was just like a song
My God, this reminds me/ of when we were young

Let me photograph you in this light/ in case it is the last time
That we might be exactly like we were/ before we realized
We were sad of getting old/ it made us restless
I'm so mad I'm getting old/ it makes me reckless
It was just like a movie/ it was just like a song

When we were young.
Words do not express thoughts very well. They always become a little different immediately after they are expressed, a little distorted, a little foolish.
(Hermann Hesse)

Monday

Iya ya.

Kemarin aku, seperti biasa menghabiskan sore dengan matthew. Sering pembicaraan kami malah menghilangkan nuansa percintaan antara sepasang kekasih. Sebaliknya kami berdiskusi tentang banyak hal random secara serius dan tidak jarang berakhir perdebatan tentang konklusi dari hal tersebut.

Aku bertanya padanya.

Matt, kenapa ya akhir-akhir ini banyak yang mengkritisi mahasiswa-jarang-turun-ke-jalan? Dan kenapa turun-ke-jalan identik dengan mahasiswa, kenapa hal itu kayak dibebankan, ditanggungkan pada mahasiswa, bukan anak SMA, sekolah... plus, kalau anak SMP atau SMA turun ke jalan malah dikritisi tidak dididik dengan baik. Kenapa, ya itu tadi, anggapan mahasiswa udah jarang turun ke jalan, lebih kelihatan kayak EO, konferensi, dll, itu negatif?

Dia menjawab.

Nah, itu, aku gak setuju.
Sekarang, mereka nuntut revolusi mental. Orang lampu merah aja mereka masih nerobos. Mereka turun, menuh-menuhin jalan, teriak-teriak soal asap sumatra, pulang-pulang mereka ngerokok di depan orang-orang. Itu cuman masalah waktu. Iya asap kebakaran lahan nelan banyak korban jiwa. Asap rokok juga, tinggal perbedaan skala waktu aja. Momen dimana bem-km teriak-teriak soal satu tahun kepemimpinan jokowi, saat itu aku pengen gantiin naik terus bilang ke mereka,

..he, ndi bus mu sing ket mbiyen mbo janjikke jare meh nggawe bus kampus?

Itu lho, semua itu ada prosesnya. Ketika mereka neriakin jokowi, ya mereka sama aja meneriaki diri sendiri. Lagian mereka itu neriakin kakak kelasnya sendiri lho, almamaternya sendiri. Jokowi kan lulusan ugm.


Iya ya.


Matthew menitikberatkan pada pencerminan diri sendiri dan solusi. Di akhir era orde baru, mahasiswa punya Tritura yang mereka perjuangkan. Itu salah satu bentuk dari solusi konkrit. And it works. Itu pun dengan garis bawah menyikapi kondisi pemerintahan yang mana telah 36 tahun dipimpin satu presiden mutlak. See, semua sama-sama bergerak, yang penting segalanyanya membawa impact sesuai tujuan awal, karena semua memang memakan proses. Yang duduk di meja-meja konferensi, yang berdiri di balik papan-papan kelas, yang mengetik jurnal-jurnal ilmiah, yang berdiri di atas mimbar, semua bergerak dengan caranya. Tinggal evaluasi dari impact yang diakibatkan. Ada yang langsung tepat sasaran dan terlihat. Ada yang berputar dan menunggu indah pada waktunya. Bukannya harus secara harfiah berani menyikapi pemerintah. Mari telisik dulu bagaimana kita bertingkah.

Selain itu aku juga mikir. Kenapa semua harus dijadikan paradoks dulu. Kenapa harus identik dengan term pemberontak dulu baru diikuti? Apa harus jadi anak jalanan, punya banyak tato, minum-minum baru dianggap peduli Indonesia? Apa harus beraliran kiri dulu baru ngubah Indonesia? Apa harus jadi underground atau sidestream dulu? Apa harus jadi kebalikan dari whitecollar dan manusia terpelajar dulu? Apa harus jadi diri sendiri dengan ngelawan norma dan kebiasaan masyarakat dulu baru bisa berontak dan ngritikin pemerintah, bicara soal moral? Disebut gak munafik? Disebut ini lho yang gak macak suci malah yang beneran peduli dan berani?

Gak bisa barengan tuh? Dengan merefleksikan keadaan diri yang baik, kita juga bisa berbuat baik untuk Indonesia kan. Bukan melulu soal munafik, real dan tetek bengeknya. Ironis gak sih saat orang yang peduli Indonesia identik dengan pemberontak, orang minum-minum dan berandalan. Bukannya memandang sebelah mata yang seperti itu (kecuali mereka yang memang jadi-diri-mereka-sendiri, bukan ikut-ikutan atau sekedar ingin dianggap memberontak dan berbeda). Mereka pun secara tidak langsung memandang sebelah mata orang-orang yang tidak memberontak karena dianggap munafik dan gak berani kemudian menjadi sebaliknya, semacam pembuktian tentang pemutarbalikan realita. Padahal semua ini dicerminkan dari diri sendiri. Nggak harus memberontak buat dianggap real. Gak harus jadi domba berbulu serigala dulu kan?

Tidak ada yang salah mengenai konsep idealis dan jadi-diri-sendiri. Namun saat itu sudah bergeser menjadi sesuatu yang secara implisit destruktif, hal itu patut dipertanyakan kembali.

Friday

Saat langit terasa teduh dan alam mengalun syahdu.

Kosong.

Kemarin aku merombak tatanan interior kamar kosku. Tatanan kali ini membuat ruangan menjadi jauh lebih luas dan lega.

Tapi kosong.

Tidak, aku tidak suka banyak perabot atau sesuatu yang terlalu berbau ibu-ibu. Maksudku, aku jauh lebih suka saat semuanya ada secukupnya, sebutuhnya dan sekeringnya. Jarang ada peralatan dapur—aku tidak suka ada ‘dapur di dalam kamar’. Aku juga kurang suka kasur berdipan, maka dari itu keluarga mencarikan kasur setebal 25 cm yang proporsional untuk diletakkan tanpa sanggaan papan.

Lalu aku punya lebih dari 2 cermin. Hal ini membiaskan ruang hingga terlihat lebih luas dan lega.

Tapi kosong.

Sama halnya dengan dipan, aku sangat membatasi penggunan benda berkaki lain seperti meja dan kursi. Aku hanya memiliki satu meja untuk meletakkan tv, tv pun aku memilih yang kuno koleksi tante. Membuatku merasa anak kos, bukan anak kuliah yang memindah kamar rumahnya ke kota rantauan. Hanya ada satu rak yang kuletakkan di bawah, tidak kugantung. Tidak kurusak tembok kamar dengan banyak paku. Juga tidak ada meja rias karena cermin beserta pigura-pigura kutata dengan meletakkannya sedemikian rupa. Aku sedang mencari kursi dakron berbentuk bola mlepem yang biasa digunakan lesehan. Tapi pun aku tidak terlalu membutuhkannya. Intinya, aku tidak suka membuang-buang ruang.

Aku selalu memasukkan jendela-yang-mengarah-ke-dunia-luar sebagai hal wajib pada daftar rikuairmen kos. Karena aku lebih suka cahaya matahari ketimbang lampu. Membuat aku merasa tidak terlalu mirip manusia-robot yang hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan, terus melakukan dan hanya melakukan. Aku tidak ingin merasa sekosong itu.

Tapi kenapa sekarang malah aku merasa kosong. Sangat. Kosong.

Barusan aku bangun dari tidur-tidak-seutuhnya-ku.

Kupandangi celah pintu lalu berjalan kearahnya. Kosong.

Tidak ada suara.

Kududukan diriku pada undakan ubin.

Hanya ada bebauan dan suasana yang membuatku sesak. Bukan sesak karena nelangsa. Suasana ini terlalu ramah dan indah, membuatku semakin kesepian karena merasa sendirian.

Lalu bau itu melintas. Bau telur kecap goreng. Entah siapa yang tega membuatnya saat aku sedang rindu rumah. Bau sakral itu, berbaur dengan udara basah dimana hujan tengah menggantung—siap untuk turun, langit yang teduh, alam yang syahdu.. benar-benar musim yang sayang dilewatkan dengan kekosongan.

Aku rindu rumah. Aku rindu masa kecil yang teramat indah. Meski tanpa keluarga yang sempurna, hanya mamah tanpa papah. Meski aku pun rindu duduk di belakang mobil dengan papah, menikmati kota Bandung setelah hujan. Menikmati ibu kota di malam hari. Melihat mamah dengan papah bukan mamah tanpa papah saja seperti sekarang. Dan seterusnya.

Tapi aku juga rindu masa kecil setelah hanya ada mamah. Berkeliling jogja dengan tante-tanteku, adiknya mamah. Menyusuri tiap sudut kota saat belum terjamah ke-karta-annya. Saat jogja masih Jogja dan bukan Jog-jakarta. Saat pendatang-pendatangnya masih ramah dan melepas kemetropolitan kota asal mereka, membaurkan diri dengan kerendahhatian kota istimewa, meramaikan malam tanpa ingar bingar dan foya-foya.

Saat angkringan lebih berjaya dibanding kafe, hotel atau jedub-jeduban. Saat mahasiswa lebih sering mendatangi karya seni dan konser dibanding makan dan berfoto-ria. Saat kota ini memperkaya dirinya sendiri dengan budaya dibanding kemewahan harta.

Saat makan bakso di pinggir jalan setelah hujan terasa seperti surga. Saat makan brongkos di selatan istana terasa seperti cendera mata bernama rasa-kangen-jogja dan ke-jogja-annya.

Saat lebih banyak kendaraan umum dan sepeda kayuh dibanding motor dan mobil yang diisi hanya seorang penumpang yang membuat kota ini semakin meninggalkan jog menuju jakarta.

Saat deresan masih identik dengan sahabat-sahabat yang bercerita sambil minum jus.
Saat mahasiswa seni masih menjadi dewa-dewa yang karyanya menghiasi jalan-jalan.
Saat tanteku masih belum berkeluarga.
Saat aku masih kanak-kanak dan belum mengenal konsep mandiri.
Saat mereka masih mengajakku kemana pun kebebasan mengatas-nama.
Saat aku belum mengenal konsep ketidakcocokan.
Saat aku belum mengenal konsep memperhitungkan uang saku.
Saat ada teman di sekelilingku.

Saat....

Saat jogja menjadi tujuan pulang seluruh hati yang menantikan kebebasan.

Back again to the city where every heart sets free, kutulis suatu hari pada path saat berangkat ‘pulang’ ke jogja.

Keramahannya. Kerendahhatiannya. Kebudayaannya. Kesederhanaannya. Kemembumiannya. Ketulusannya. Ketahudiriannya. Keseniannya. Kecantikannya. Jogja, dan seribu alasan mengapa padanya disematkan kata istimewa.

Aku rindu merasa di rumah. Aku ingin keluar dari penjara bernama rutinitas, menemukan canda dan tawa di tetes-tetes kuah bakso di pinggir jalan setelah hujan.

Aku rindu melihat kelegaan saat langit terasa teduh dan alam mengalun syahdu.

Aku rindu sesosok sahabat yang gemar merakit kenangan pada celah-celah keserhanaan, yang padanya bergantung ketulusan.

Yang selalu ada, yang selalu mau, yang selalu rindu.

Ada di sekitar, mau meretas keadaapaan dari keapaadaan, dan rindu melagukan nikmat yang didapat cuma-cuma.

Di rintik-rintik hujan dan langit yang merekah.
Di sela-sela jalanan kampung yang ramah.
Di atap-atap rumah yang basah.
Di sisa-sisa hati yang resah.
Di sore yang indah.

Di kesederhanaan yang mewujud
rumah.

Wednesday

Menangis menelusuri artikel-artikel tentang Pak Raden.

Artikel lain:
Potret Kehidupan Sang Maestro Dongeng Pak Raden
Inilah Kisah Perjuangan Pak Raden Semasa Hidup dan Kecintaanya terhadap Si Unyil
Biografi Pak Raden - Pencipta Tokoh 'Si Unyil'
Mengkhidmati Pak Raden | pressreader.com | Jawa Pos (bisa login via twitter/google+)
http://pakraden.org/ | ternyata pak raden punya official website. ada yg ngunjungi nggak ya..
Twitter Pak Raden: @drs_suyadi

Video lain di YouTube:
Pak Raden: Jangan Malas (Full Movie)
Terima Kasih Pak Raden - "Mencari Kue"
Terima Kasih Pak Raden - "Selendang Sutera"
Sosok di balik Pak Raden
Tribute To Pak Raden | Hitam Putih 4-11-15
Mengenang Pak Raden | KompasTV

"Dia selalu mikir. Bagaimana anak-anak, bacaan anak-anak sesuai usianya. Beliau khawatir dan sedih kalau anak-anak bacaannya di atas umurnya dan didandani jauh dari usianya," ungkap Ratih saat ditemui di rumah duka di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, Sabtu (30/10).
Almarhum Pak Raden meninggal pada tanggal 30 Oktober 2015 pada pukul 22.20 WIB di rumah sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Pusat. Beliau meninggal pada usia 82 tahun. Rencananya almarhum akan dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Cipete, Jakarta Selatan.

Catatan Kaki Jodhi Yudono
KOMPAS.com — Beberapa hari lalu, di sebuah acara makan siang bersama beberapa kawan, saya mengatakan, betapa negara ini tidak pandai menghargai orang-orang hebat dan berjasa yang dimiliki negeri ini. Lantas saya pun menyebut satu nama untuk memberi contoh manusia luar biasa yang tidak memperoleh penghargaan yang layak.

"Drs Suyadi alias Pak Raden adalah salah satu contohnya," kata saya.

Lalu, saya pun bercerita saat saya mendokumentasikan beliau secara audiovisual di rumah kontrakannya di daerah Jakarta Timur pada tahun 2005, beberapa hari sebelum beliau menerima Anugerah Kebudayaan dari pemerintah. Saya tercenung cukup lama di ruang tamunya yang berantakan. Mengunjungi rumah kontrakannya saat itu, di Jalan Kebon Nanas I/22, Jakarta Timur, rasanya negeri ini telah berlaku "kejam" kepadanya. Bayangkanlah, orang dengan talenta yang luar biasa dalam bidang kepenulisan, melukis, menggambar, mendongeng, membuat film, tetapi hidupnya masih jauh dari yang disebut makmur. Tak ada barang mewah di rumah itu. Di ruang tamu cuma tampak pesawat televisi 14 inci. Lampu yang biasanya menerangi wajahnya kala ia merias wajahnya menjadi Pak Raden yang berkumis tebal dengan alis menjulang ke atas itu pun telah mati. Sementara itu, lampu penerangan di rumah tersebut memaksa pengguna kamera manual harus menurunkan speed-nya hingga pada angka 2 (dua) saat memotret. Di rumah kontrakannya yang persis berseberangan dengan pasar tradisional itu, Drs Suyadi tinggal bersama Nanang. Namun, begitulah, kendati ia memiliki seorang pembantu, tampak betul jika rumah tinggal itu tak pernah mendapat sentuhan dari seorang perempuan. Ya, hingga usia senja, tiada perempuan berada di sampingnya. Barangkali, memang begitulah suratan hidup Suyadi. Secara berseloroh, ia mengatakan, "Saya ini joko tuo sing ora payu rabi (jejaka tua yang tak laku kawin)."

Lihatlah seisi ruangan di rumah itu. Di ruang tamu, ruang makan, kamar, penuh dengan lukisan, sketsa, boneka, kertas yang berserakan, bekas cat, buku-buku, dan… kucing. Yang terakhir ini adalah makhluk "buangan" para tetangga yang sudah bosan dengan hewan piaraan itu.

"Ada sekitar 20, hasil 'sumbangan' para tetangga," kata Suyadi perihal hewan piaraannya itu. Dia mengatakan, para tetangga itu biasanya mencemplungkan kucing-kucing tersebut melalui pagar rumah tinggalnya. Setelah diberi makan oleh Nanang, biasanya kucing-kucing itu betah tinggal di sana, bersama Suyadi dan Nanang. Pemandangan rumah yang berantakan dan tak terawat ternyata masih terlihat beberapa tahun kemudian saat beliau telah pindah rumah tinggal. Rumah tinggalnya yang terakhir berada di gang sempit di daerah Petamburan, Slipi. Rumah bernomor 27 di RT 003 RW 04 gelap dan kusam. Halamannya yang tidak seberapa luas dipenuhi kaleng cat dan sisa-sisa kayu untuk membuat boneka. Kesan penuh juga ada di ruang tamu. Berbagai lukisan berekamkan cerita-cerita pewayangan dan boneka-boneka ciptaan Suyadi si Pak Raden memenuhi ruang itu.

Harus diakui, Pak Raden adalah tokoh multitalenta yang namanya terus bertahan hingga empat dekade. Sosok rekaan berwujud boneka yang berwatak feodal dalam film boneka Si Unyil yang pemarah dan selalu mengenakan belangkon serta tongkat. Sedemikian terkenalnya sosok Pak Raden sampai-sampai menenggelamkan nama Drs R Suyadi yang ada di balik karakter boneka berkumis yang suka berbahasa campur-campur, Jawa, Indonesia, dan Belanda.

Drs Suyadi adalah putra patih Surabaya di zaman Belanda yang lahir pada 28 November 1932 di Jember, Jawa Timur. Sebagai putra patih, ia dengan mudah menempuh pendidikan hingga lulus di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1960. Sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara, putra patih (penjabat operasional yang mengatur sebuah pemerintahan kota), ini juga dengan mudah memenuhi kegemarannya menonton film-film Walt Disney. Dari kegemarannya menonton film-film produk Walt Disney itulah, Suyadi mencintai dunia anak-anak sepanjang hidupnya. Karakter yang kuat dalam tiap tokoh Disney dinilai Suyadi amat luar biasa. Inilah yang kemudian mengilhami Suyadi membuat karakter-karakter nan kuat pada tiap tokoh yang ada pada film boneka Si Unyil.

Sambil berjalan tertatih-tatih ia pun dengan garang memoleskan warna ke kanvas. Tak lama kemudian, ia pindah ke meja lainnya. Kini, tangannya lincah menggambar. Sambil menggambar, ia pun bercerita. Lalu, Suyadi pun mengambil kertas kosong lainnya. Digambarinya lagi kertas itu dan diceritakannya kembali isi gambar sambil menulis kalimat di bawahnya. Begitulah cara Suyadi menulis cerita. Ia menggambar dahulu sebelum menulis. Hasilnya adalah puluhan buku anak yang enak dibaca sekaligus enak dipandang. Seribu Kucing untuk Kakek, Pedagang Peci Kecurian, Gua Terlarang, Joko Kendil, dan Siapa Punya Kuali Panjang adalah di antara puluhan judul buku karya-karya Suyadi.

Namun, kini Pak Raden telah pergi, membawa serta semua cerita bahagia dan duka. Bahagia lantaran dia adalah sahabat kanak-kanak sepanjang masa. Pedih karena negeri ini tak memberinya penghargaan yang layak. Tentu kita masih ingat, saat beliau melakukan "protes keras" kepada pemerintah pada tahun 2012. Sebab, setelah lebih dari 30 tahun sejak Suyadi mencipta Unyil, hak cipta Unyil dan kawan-kawan dipegang PPFN melalui surat kontrak Nomor 139/P.PFN/XII/1995 Suyadi sama sekali tidak mendapatkan royalti dari setiap penggunaan karakter dalam serial Unyil. Suyadi hanya dibayar mengisi suara Pak Raden.

"Sebelum meninggal, saya ingin hak saya dikembalikan kepada saya," katanya dalam konferensi pers di kediamannya kala itu.

Dengan protesnya itu, Pak Raden berharap bisa menyadarkan para pegiat seni agar nasib seperti yang dialaminya tidak dirasakan oleh penerusnya. Surat perjanjian bertanda tangan tahun 1995 itu, menurut Pak Raden, memiliki jangka waktu kepemilikan hak cipta atas 11 karakter dalam serial Unyil. Namun, di surat perjanjian selanjutnya tidak lagi dicantumkan jangka waktu kepemilikan hak cipta.

Pak Raden pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa berjuang untuk hak cipta atas 11 karakter Unyil tersebut kepada Menteri BUMN waktu itu, Dahlan Iskan. Pertanyaannya, kenapa itu semua dilakukan sekarang? Dengan tenang, Pak Raden menjawab karena dia tidak lagi muda. Tidak seperti dulu ketika masih punya banyak sumber penghasilan. Kini, disiksa oleh encoknya, sulit baginya untuk bekerja seperti dulu lagi. "Saya tidak lagi bisa loncat ke sana loncat ke sini lagi," katanya.

Entahlah bagaimana kabar selanjutnya dari "protes" Pak Raden kala itu. Benar kata beliau, dia memang telah tua dan sakit-sakitan. Pada Jumat (30/10/2015) pukul 22.20 WIB, Pak Raden meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Barat, karena mengalami infeksi pada paru kanan.
Selamat jalan Pak Raden...
i want a word for the almost-home.
that point where the highway’s monotony becomes familiar
that subway stop whose name will always wake you from day’s-end dozing
that first glimpse of the skyline
that you never loved until you left it behind.

what do you call the exit sign you see even in your dreams?
is there a name for the airport terminal you come back to,
comfortably exhausted?

i need a word for rounding your corner onto your street,
for seeing your city on the horizon,
for flying homewards down your highway.

give me a word for the boundary
between the world you went to see
and the small one you call your own.

i want a word for the moment you know
you’re almost home.
You can ask the universe for all the signs you want, but ultimately, we only see what we want to see when we're ready to see it.
(How I Met Your Mother)

Monday


Walaupun banyak negeri kujalani, yang mashyur permai di kata orang
Tetapi kampung dan rumahku, di sanalah ku merasa tenang
Tanahku tak kulupakan, Engkau kubanggakan..

".. Dan Indonesia itu gak jelek. Tapi emang ga sesempurna yang diceritain ke kita di buku pelajaran. Masalah kita tuh cuman satu; ada temen gue dari spanyol namanya Miguel, dia bilang, “Indonesia is not a poor country. It’s a rich country, poorly managed. Dan itu betul. Kita tuh ga mau turun tangan nih, untuk ngeberesin Indonesia pemerintah aja yang kita suruh, karena kita pikir itu kerjaan mereka. Padahal itu tanggung jawab kita juga, lu tinggal di negara yang sama gitu.

Gue udah pernah liat Tembok Cina, Tembok Berlin, Hollywood, Big Ben pake mata kepala gue sendiri. Dan semakin jauh gue ninggalin Indonesia, semakin banyak yang gue lihat di dunia, gue tuh semakin kengen, dan semakin sayang sama Indonesia. Sama hal-hal yang kalo di tanah air ga pernah kita angap; seperti.. suara tukang kue putu tengah malem, handalnya tukang ojek dan pasar kaget yang kadang-kadang kita suka sebel sama baunya, tapi saat ini warna-warninya, dan seru-serunya kebayang-bayang gitu ..

Indonesia itu gak sempurna. Tapi dia layak diperjuangkan. Gue gatau nih rencana lu ke depan apa. Tapi moga-moga kita ketemu lagi. Lu dan gue, kita yang bangun Indonesia. Pake tangan kita sendiri. Kita yang memakmurkan negeri kita.

Yang bikin Indonesia jadi mandiri."

Sunday

Nggak Tahan!

Dulu, sewaktu kecil, aku bermasalah dengan imajinasi yang nggak-nggak.

Aku sering gugup berlebihan dan berdoa sungguh-sungguh hanya karena sebelum tidur, aku melihat keran air di kamar mandi masih menetes satu-satu setelah dimatikan. Aku takut bakal banjir. Aku takut kita semua akan tenggelam dan mati.

Beranjak dewasa, aku mengenalnya dengan term: parno.

Suatu pagi saat diantar mama naik motor ke sekolah, aku bilang, "Ma, cita-citaku pengen buat rumah buat orang yang gak punya rumah, nenek-nenek tua dan kurus kering yang biasa jualan koran panas-panas, kakek-kakek tua kurus kering yang masih narik becak kayuh. Yang mungkin setiap pagi kita lewat, belum makan. Di situ mereka bisa tidur, makan, mandi. Pokoknya gak sedih.."

Beranjak dewasa aku mengenal sebutan rumah yang seperti itu: rumah singgah.

Aku sering menangis melihat orang-orang tua berjualan di pinggir jalan, di bawah panas yang menyengat mengayuh sepeda menjajakan jasa sol sepatu, mendorong gerobak bakso yang belum tentu laku, mengusahakan hal-hal yang mungkin tidak berpenghasilan seberapa dibanding semua jerih payah yang mereka lakukan.

Aku suka tahu asongan yang dijajakan di terminal bus solo. Biasanya tanpa pikir panjang aku langsung menyodorkan uang lima ribu rupiah pada penjual pertama yang lewat untuk mendapat 3 plastik tahu. Suatu hari saat aku melakukan kebiasaanku itu, setelah memakan habis ketiga bungkus tahu tersebut (ya, kurang lebih lima belas menit aku bisa melahapnya habis), masuklah serang kakek yang sangat kurus, renta dan serak menjajakan tahu asongan. Aku membeli seharga sepuluh ribu. Meskipun aku tahu perutku tak muat lagi. Aku menangis dalam hati.

Beranjak dewasa, aku mulai menyortir orang mana yang akan aku beli dagangannya di bus. Aku akan memilih yang sangat letih, sangat tua, dan masih banyak dagangannya. Terlihat sangat jahat ya, 'memilih'. Padahal belum tentu dia yang paling menderita. Bisa aja cuman macak, iya kan? Entahlah, aku selalu dihantui rasa bersalah jika melihat mereka.

Aku bermasalah dengan empati yang kadang tidak terkontrol. Suatu siang, saat menunggu transjogja di shelter depan kampus untuk pulang ke ponorogo, aku melihat ada nenek-nenek yang sudah sangat tua menggendong keranjang anyam besar berjalan melintasi trotoar depan fakultas. Aku hanya menatapnya terus. Dadaku terasa sangat nyeri. Kemudian ia bertemu dengan undakan trotoar.. dan.. berhenti sejenak. Kira-kira empat detik lamanya ia berusaha menapakkan satu kakinya ke undakan tersebut. Dengan segenap hati, aku sudah siap untuk keluar dari shelter saat itu juga meski itu dilarang dan uang tiket masukku ludes. Aku tercekat dan orang-orang dalam shelter melihatku melihat pemandangan itu. Hampir saja aku keluar, nenek itu akhirnya bisa menaiki undakan trotoar itu. Tidak sedetik pun kualihkan pandanganku dari nenek itu sampai ia menghilang dari pandangan. Melihat pakaiannya yang masih kebaya, kutebak ia sebenarnya baru turun dari bus kota di ujung jalan. Aku bertanya-tanya, kemanakah ia pergi? Menjual dangangannya? Tapi siapa yang akan membeli? Kali ini aku sungguhan menangis. Kucoba menelepon Matthew untuk menanangkan diri tapi tidak diangkat. Kemudian transjogjaku datang.

Setiap melintasi Kota Solo, aku melihat banyak pemandangan serupa. Kakek-kakek tukang ojek yang bahkan tidak memakai sendal, berlarian mengejar para penumpang yang hendak turun dari bus dengan mata berbinar-binar....yang hilang seketika saat tidak ada yang menyambut tawaran jasanya. Bapak tua berkemeja, sepatu lusuh dan tatapan tulus yang...menjual mainan..

Nenek-nenek renta penjual koran...

SUNGGUH, KEMANA ANAK-ANAK MEREKA PERGI?!

Aku mulai berpikir... bagaimanakah kehidupan mereka pada masa muda? Mengapa mereka bisa seperti demikian, apakah karena kondisi dan suatu keadaan yang tak tereelakkan, apakah mereka kurang berusaha semasa mudanya, ataukah karena mereka malas, ataukah karena pereka dulunya pemabuk dan suka menjadi erandal jalanan.. dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini Jogja panas sekali. Barusan, aku pergi ke indomaret untuk membeli teh pucuk dingin. Kemudian kulihat di emperan, seorang apak-bapak penjual kerupuk sedang tidur, beristirahat sambil menunduk. Topi capingnya masih bertengger di kepala. Di sampingnya ada tas, dompet, air mineral dingin yang setengah terisi. Mungkin sudah di minum. Ia kelihatan lelah sekali. Padahal dua karung kerupuk yang sangat besar masih penuh terisi.

Aku.. tidak.. tahan.. lagi..

Bagaimana mungkin aku bisa naik motor, mengenakan jaket apik, memegang hape, dan makan enak saat masih ada orang-orang seperti itu? Bagaimana mungkin bisa kita naik mobil ber-ac saat masih ada bapak-bapak tua yang mengayuh sepeda untuk menjemput anaknya di bawah terik matahari? Bagaimana mungkin aku bisa membeli sepatu baru saat bahkan banyak orang-orang di luar sana yang bangga akan sepatu pantofel bututnya, berkata itu sepatu terbaik yang dimilikinya? Bagaimana mungkin teman-temanku dengan mudahnya membeli iphone 6 s setelah memilik iphone seri sebelumnya saat bahkan nenek-nenek dan kakek tua di luar sana tidak bisa menghubungi anak-anaknya?

Aku tahu orang-orang belajar mencari ilmu dan mengusahakan masa depan serta kesejahteraan bagi bangsa ini. Tapi semua itu butuh proses, tidak akan bisa menyentuh permasalahan sedetail dan secepat itu. Aku hanya tidak sanggup lagi. Aku tidak sanggup melihat ini semua.