Monday

Iya ya.

Kemarin aku, seperti biasa menghabiskan sore dengan matthew. Sering pembicaraan kami malah menghilangkan nuansa percintaan antara sepasang kekasih. Sebaliknya kami berdiskusi tentang banyak hal random secara serius dan tidak jarang berakhir perdebatan tentang konklusi dari hal tersebut.

Aku bertanya padanya.

Matt, kenapa ya akhir-akhir ini banyak yang mengkritisi mahasiswa-jarang-turun-ke-jalan? Dan kenapa turun-ke-jalan identik dengan mahasiswa, kenapa hal itu kayak dibebankan, ditanggungkan pada mahasiswa, bukan anak SMA, sekolah... plus, kalau anak SMP atau SMA turun ke jalan malah dikritisi tidak dididik dengan baik. Kenapa, ya itu tadi, anggapan mahasiswa udah jarang turun ke jalan, lebih kelihatan kayak EO, konferensi, dll, itu negatif?

Dia menjawab.

Nah, itu, aku gak setuju.
Sekarang, mereka nuntut revolusi mental. Orang lampu merah aja mereka masih nerobos. Mereka turun, menuh-menuhin jalan, teriak-teriak soal asap sumatra, pulang-pulang mereka ngerokok di depan orang-orang. Itu cuman masalah waktu. Iya asap kebakaran lahan nelan banyak korban jiwa. Asap rokok juga, tinggal perbedaan skala waktu aja. Momen dimana bem-km teriak-teriak soal satu tahun kepemimpinan jokowi, saat itu aku pengen gantiin naik terus bilang ke mereka,

..he, ndi bus mu sing ket mbiyen mbo janjikke jare meh nggawe bus kampus?

Itu lho, semua itu ada prosesnya. Ketika mereka neriakin jokowi, ya mereka sama aja meneriaki diri sendiri. Lagian mereka itu neriakin kakak kelasnya sendiri lho, almamaternya sendiri. Jokowi kan lulusan ugm.


Iya ya.


Matthew menitikberatkan pada pencerminan diri sendiri dan solusi. Di akhir era orde baru, mahasiswa punya Tritura yang mereka perjuangkan. Itu salah satu bentuk dari solusi konkrit. And it works. Itu pun dengan garis bawah menyikapi kondisi pemerintahan yang mana telah 36 tahun dipimpin satu presiden mutlak. See, semua sama-sama bergerak, yang penting segalanyanya membawa impact sesuai tujuan awal, karena semua memang memakan proses. Yang duduk di meja-meja konferensi, yang berdiri di balik papan-papan kelas, yang mengetik jurnal-jurnal ilmiah, yang berdiri di atas mimbar, semua bergerak dengan caranya. Tinggal evaluasi dari impact yang diakibatkan. Ada yang langsung tepat sasaran dan terlihat. Ada yang berputar dan menunggu indah pada waktunya. Bukannya harus secara harfiah berani menyikapi pemerintah. Mari telisik dulu bagaimana kita bertingkah.

Selain itu aku juga mikir. Kenapa semua harus dijadikan paradoks dulu. Kenapa harus identik dengan term pemberontak dulu baru diikuti? Apa harus jadi anak jalanan, punya banyak tato, minum-minum baru dianggap peduli Indonesia? Apa harus beraliran kiri dulu baru ngubah Indonesia? Apa harus jadi underground atau sidestream dulu? Apa harus jadi kebalikan dari whitecollar dan manusia terpelajar dulu? Apa harus jadi diri sendiri dengan ngelawan norma dan kebiasaan masyarakat dulu baru bisa berontak dan ngritikin pemerintah, bicara soal moral? Disebut gak munafik? Disebut ini lho yang gak macak suci malah yang beneran peduli dan berani?

Gak bisa barengan tuh? Dengan merefleksikan keadaan diri yang baik, kita juga bisa berbuat baik untuk Indonesia kan. Bukan melulu soal munafik, real dan tetek bengeknya. Ironis gak sih saat orang yang peduli Indonesia identik dengan pemberontak, orang minum-minum dan berandalan. Bukannya memandang sebelah mata yang seperti itu (kecuali mereka yang memang jadi-diri-mereka-sendiri, bukan ikut-ikutan atau sekedar ingin dianggap memberontak dan berbeda). Mereka pun secara tidak langsung memandang sebelah mata orang-orang yang tidak memberontak karena dianggap munafik dan gak berani kemudian menjadi sebaliknya, semacam pembuktian tentang pemutarbalikan realita. Padahal semua ini dicerminkan dari diri sendiri. Nggak harus memberontak buat dianggap real. Gak harus jadi domba berbulu serigala dulu kan?

Tidak ada yang salah mengenai konsep idealis dan jadi-diri-sendiri. Namun saat itu sudah bergeser menjadi sesuatu yang secara implisit destruktif, hal itu patut dipertanyakan kembali.

No comments:

Post a Comment