Sunday

Nggak Tahan!

Dulu, sewaktu kecil, aku bermasalah dengan imajinasi yang nggak-nggak.

Aku sering gugup berlebihan dan berdoa sungguh-sungguh hanya karena sebelum tidur, aku melihat keran air di kamar mandi masih menetes satu-satu setelah dimatikan. Aku takut bakal banjir. Aku takut kita semua akan tenggelam dan mati.

Beranjak dewasa, aku mengenalnya dengan term: parno.

Suatu pagi saat diantar mama naik motor ke sekolah, aku bilang, "Ma, cita-citaku pengen buat rumah buat orang yang gak punya rumah, nenek-nenek tua dan kurus kering yang biasa jualan koran panas-panas, kakek-kakek tua kurus kering yang masih narik becak kayuh. Yang mungkin setiap pagi kita lewat, belum makan. Di situ mereka bisa tidur, makan, mandi. Pokoknya gak sedih.."

Beranjak dewasa aku mengenal sebutan rumah yang seperti itu: rumah singgah.

Aku sering menangis melihat orang-orang tua berjualan di pinggir jalan, di bawah panas yang menyengat mengayuh sepeda menjajakan jasa sol sepatu, mendorong gerobak bakso yang belum tentu laku, mengusahakan hal-hal yang mungkin tidak berpenghasilan seberapa dibanding semua jerih payah yang mereka lakukan.

Aku suka tahu asongan yang dijajakan di terminal bus solo. Biasanya tanpa pikir panjang aku langsung menyodorkan uang lima ribu rupiah pada penjual pertama yang lewat untuk mendapat 3 plastik tahu. Suatu hari saat aku melakukan kebiasaanku itu, setelah memakan habis ketiga bungkus tahu tersebut (ya, kurang lebih lima belas menit aku bisa melahapnya habis), masuklah serang kakek yang sangat kurus, renta dan serak menjajakan tahu asongan. Aku membeli seharga sepuluh ribu. Meskipun aku tahu perutku tak muat lagi. Aku menangis dalam hati.

Beranjak dewasa, aku mulai menyortir orang mana yang akan aku beli dagangannya di bus. Aku akan memilih yang sangat letih, sangat tua, dan masih banyak dagangannya. Terlihat sangat jahat ya, 'memilih'. Padahal belum tentu dia yang paling menderita. Bisa aja cuman macak, iya kan? Entahlah, aku selalu dihantui rasa bersalah jika melihat mereka.

Aku bermasalah dengan empati yang kadang tidak terkontrol. Suatu siang, saat menunggu transjogja di shelter depan kampus untuk pulang ke ponorogo, aku melihat ada nenek-nenek yang sudah sangat tua menggendong keranjang anyam besar berjalan melintasi trotoar depan fakultas. Aku hanya menatapnya terus. Dadaku terasa sangat nyeri. Kemudian ia bertemu dengan undakan trotoar.. dan.. berhenti sejenak. Kira-kira empat detik lamanya ia berusaha menapakkan satu kakinya ke undakan tersebut. Dengan segenap hati, aku sudah siap untuk keluar dari shelter saat itu juga meski itu dilarang dan uang tiket masukku ludes. Aku tercekat dan orang-orang dalam shelter melihatku melihat pemandangan itu. Hampir saja aku keluar, nenek itu akhirnya bisa menaiki undakan trotoar itu. Tidak sedetik pun kualihkan pandanganku dari nenek itu sampai ia menghilang dari pandangan. Melihat pakaiannya yang masih kebaya, kutebak ia sebenarnya baru turun dari bus kota di ujung jalan. Aku bertanya-tanya, kemanakah ia pergi? Menjual dangangannya? Tapi siapa yang akan membeli? Kali ini aku sungguhan menangis. Kucoba menelepon Matthew untuk menanangkan diri tapi tidak diangkat. Kemudian transjogjaku datang.

Setiap melintasi Kota Solo, aku melihat banyak pemandangan serupa. Kakek-kakek tukang ojek yang bahkan tidak memakai sendal, berlarian mengejar para penumpang yang hendak turun dari bus dengan mata berbinar-binar....yang hilang seketika saat tidak ada yang menyambut tawaran jasanya. Bapak tua berkemeja, sepatu lusuh dan tatapan tulus yang...menjual mainan..

Nenek-nenek renta penjual koran...

SUNGGUH, KEMANA ANAK-ANAK MEREKA PERGI?!

Aku mulai berpikir... bagaimanakah kehidupan mereka pada masa muda? Mengapa mereka bisa seperti demikian, apakah karena kondisi dan suatu keadaan yang tak tereelakkan, apakah mereka kurang berusaha semasa mudanya, ataukah karena mereka malas, ataukah karena pereka dulunya pemabuk dan suka menjadi erandal jalanan.. dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini Jogja panas sekali. Barusan, aku pergi ke indomaret untuk membeli teh pucuk dingin. Kemudian kulihat di emperan, seorang apak-bapak penjual kerupuk sedang tidur, beristirahat sambil menunduk. Topi capingnya masih bertengger di kepala. Di sampingnya ada tas, dompet, air mineral dingin yang setengah terisi. Mungkin sudah di minum. Ia kelihatan lelah sekali. Padahal dua karung kerupuk yang sangat besar masih penuh terisi.

Aku.. tidak.. tahan.. lagi..

Bagaimana mungkin aku bisa naik motor, mengenakan jaket apik, memegang hape, dan makan enak saat masih ada orang-orang seperti itu? Bagaimana mungkin bisa kita naik mobil ber-ac saat masih ada bapak-bapak tua yang mengayuh sepeda untuk menjemput anaknya di bawah terik matahari? Bagaimana mungkin aku bisa membeli sepatu baru saat bahkan banyak orang-orang di luar sana yang bangga akan sepatu pantofel bututnya, berkata itu sepatu terbaik yang dimilikinya? Bagaimana mungkin teman-temanku dengan mudahnya membeli iphone 6 s setelah memilik iphone seri sebelumnya saat bahkan nenek-nenek dan kakek tua di luar sana tidak bisa menghubungi anak-anaknya?

Aku tahu orang-orang belajar mencari ilmu dan mengusahakan masa depan serta kesejahteraan bagi bangsa ini. Tapi semua itu butuh proses, tidak akan bisa menyentuh permasalahan sedetail dan secepat itu. Aku hanya tidak sanggup lagi. Aku tidak sanggup melihat ini semua.