Thursday

Diksa

Part 2. (putar lagu di atas untuk mengiringi.)

Ibu Kota, Oktober 2011.

Sudah kali kesepuluh dalam lima menit terakhir Diksa menengok pergelangan tempat jam tangan berbahan kayunya melekat.

Stasiun di tengah kota itu sesak seperti biasa. Berbagai macam bau menguar di udara di sekitarnya. Bau parfum kelas menengah yang familier, bau khas bayi-bayi dalam gendongan, bau keringat para pedagang asongan, dan--bau kesibukan. Orang orang berlalu lalang di hadapannya tapi tak satupun ia kenali.

Kini dirinya menyesali keputusannya mengenakan pakaian berlapis. Sekali lagi mata hitamnya menyapu sekeliling, siapa tahu orang yang ditunggunya muncul. Dengan tubuh jangkung Diksa terlihat mencolok di tengah keramaian.

Pukul 7:35. Sudah hampir satu jam sejak kereta yang ia tumpangi berhenti. Puntung rokok yang kedua baru saja berakhir di bawah sepatunya. Baru saja Diksa memutuskan mencari ojek, sebuah tangan menahan sebelah sikunya.

Seketika ia merasakan desakan untuk melesak ke dalam tanah.

"Diksa."

Sosok itu terengah-engah, dan--seharusnya ia telah menduga, bukan sosok yang diharapkannya. Selama sepersekian detik desakan untuk melesat ke dalam tanah digantikan oleh perasaan nanar yang tak bisa dijelaskan.

"Eh Dir. Sori gue minta jemput pagi-pagi. Hape gue mati."

Indira masih terengah engah. Satu tangannya terangkat, satu lagi menahan berat tubuh pada lutut kirinya.

"Gilak. Ada kali gue telfon lo seratus kali."
"Gue mau ke depan tapi takutnya malah ga ketemu. Soalnya terakhir gue kasi kabar, gue di deket ti--"
"Udah udah. Mending kita ngomong di jalan."
"Sori ya Dir--"
"Udah bentar lo tahan dulu semua cerita lo, kita makan."
"Makasih ban--" belum sempat ucapannya selesai, punggung mungil Indira sudah hilang di balik arus manusia yang memenuhi selasar Stasiun Gambir.

Indira, meski bukan sosok yang ia tunggu, setidaknya merupakan sebuah harapan yang masih berpendar. Tadi malam Diksa telah memberanikan diri untuk memberitakan keberangkatannya ke Jakarta. Ia sudah mengirim surel pada seseorang--kepada siapa harapannya berlabuh. Sayangnya, seperti seharusnya ia duga, pesannya tidak berbalas. Maka menjelang tengah malam ia mencoba menghubungi Indira. Dan di sinilah ia sekarang, mengenakan kemeja tartan birunya, bersama kaos, jeans dan sepatu kanvasnya yang biasa. Rambut sebahunya yang terikat asal-asalan menjadi bahan 'pembicaraan' Indira pagi itu dalam perjalanan mereka menuju lokasi sarapan.

"Gue ga ngerti lagi Dik sama lo." Kemudian Indira memulai ceramah panjangnya soal penampilan dan standar ketampanan. Indira yang sama seperti yang dulu dikenalnya.

"Jauh jauh lo keliling dunia gue kira apa kek berubah dikit. Gantengan kek, kinclongan dikit apa kek. Rambut lo gila lo yakin ketemu Anka?"

Pukul 7:56. Dilatarbelakangi ocehan Indira, ia mengerti waktunya semakin menipis.

"Dir sebenernya al--"
"Gue tau kok. Yang gue penasaran lo ngerti darimana soal ini?"

Ia sedikit lega karena tak perlu menjelaskan. "Aryo."

Tentu saja Diksa tidak akan pernah melupakan malam itu. Ia masih berada di Osaka bersama kru dan anggota bandnya setelah memenuhi undangan suatu festival musik rock tahunan yang cukup populer di negeri sakura. Beberapa jam setelah merampungkan gig, Aryo mengajak Diksa mencari beer tengah malam. Udara Osaka yang dingin pada awal bulan Februari membuat mereka menghabiskan beberapa botol malam itu. Diksa yang belum sampai menghabiskan 2 botol menghisap penuh-penuh puntung rokok terakhirnya. Aryo mulai meracau, Diksa mengerti hanya fisik kawannya saja yang masih benar-benar duduk di sana. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah berapa lembar uang yang tersisa dalam dompetnya sendiri dan dompet kawannya itu untuk membayar taxi dan pulang ke penginapan.

"Garang aja di luar lo. Haha. Cemen di dalem, mlempem."
"Kacau lu yok. Balik deh dompet di mana?"

Ia sudah hampir beranjak untuk memanggil taksi saat Aryo menyebut soal Anka. Saat itu dirinya terlalu sibuk mengeluarkan isi ransel Aryo sehingga tidak terlalu memperhatikan. Lagipula—Anka. Sudah hampir lima tahun ia tak mendengar nama itu. Dan benar saja, hanya uang 10 yen dan rupiahan 5000 yang berhasil ia kumpulkan dari dompet dan ransel mereka.

"Man, otak lo--"

Tapi umpatannya terbenam kalimat Aryo.

Kalimat yang sampai kini masih menghantuinya dan membuat dirinya kembali ke Jakarta, tempat yang tidak ingin ia kunjungi lagi. Setidaknya hinga saat ini.

Suara klakson mengembalikan Diksa pada jalanan penuh kendaraan bermotor.

"Anjir merah lagi." Umpat Dira.

Pukul 8:02. Waktunya hampir tiba.

"Diem aja lo. Terus sekarang apa rencana lo. Gue yakin kalian juga sama-sama udah cukup matang buat ngambil keputusan. Gue hargain keberanian lo Dik, bukan berarti gue dukung lo. Tapi lo juga sohib gue dan gue ngerti ada sesuatu yang belum terselesaikan di antara kalian berdua, gue tau kalian juga sama-sama bisa ngerasain. Gue ga tau apa rencana Tuhan, tapi pasti ada alasan kenapa hari ini semesta mengizinkan kalian kembali bertemu. Gue anggap ini kesempatan buat lo, dan gue juga ga mau menghalangi itu. Jam 8 lebih. Gue udah ngga nafsu. Lo masih mau makan ga?"

Tiba-tiba Diksa mencelos. Sebuah kenangan melintas di sudut pikirnya. Ingatan itu seperti meledak tanpa suara. Membuat dadanya sedikit nyeri.

"Gue butuh ke suatu tempat."
"Lo sadar kan udah nyampe Jakarta?"
"Ga jauh dari sini. Batal ke kiri. Kita ke kanan."

Tanpa bertanya lagi, Indira mengubah isyarat lampu mobilnya.

"Kemana?"

Dalam sekejap, lampu merah menyala kuning lalu hijau, dan Fortuner hitam itu melaju, mengalihkan haluan.

bersambung.

cerbung anka part 1

No comments:

Post a Comment